Thursday, March 10, 2011

Model Konseling Behavioral dengan Teknik Desensitisasi Sistematis


1.    Pengertian Teknik Desensitisasi  Sistematis.
Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Nietzel dan Berstein (1987) mengemukakan tentang latar belakang teknik ini antara lain tokoh Watson dan Rayner melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat conditioning, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat counter conditioning-nya. Tahun 1920-an Johannes Schulz, psikolog Jerman, mengembangkan teknik “Autogenic Training” yang mengkombinasikan diagnosis, relaksasi dan autosugesti untuk konseli yang mengalami kecemasan. Tahun 1935 Guthrie mengemukakan beberapa teknik untuk menghapus kebiasaan maladaptive termasuk kecemasan; dengan menghadapkan individu yang mengalami phobia pada stimulus yang tidak dapat menimbulkan kecemasan secara gradual ditingkatkan ke stimulus yang lebih kuat menimbulkan ketakutan.
Desensitisasi  Sistematis adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi  sistematis digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu, Desensitisasi  diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Wolpe (dalam Gerald Corey, 2007:210)  telah mengembangkan suatu respon yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Desensitisasi  sistematis adalah teknik yang cocok digunakan untuk menangani fobia-fobia, kecemasan dan ketakutan. Teknik ini bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan terhadap ujian, kecemasan-kecemasan neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual.
Sulaiman Zein (dalam http://id.wordpress.com/tag/teknik-konseling/, 2008:6 /) mengemukakan bahwa ”Desensitisasi  sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks”. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi Desensitisasi  sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. 


2.    Konsep Dasar Teknik Desensitisasi Sistematis
Wolpe (dalam Corey,2007:208) mengungkapkan bahwa teknik desensitisasi sitematis merupakan salah satu teknik perubahan perilaku yang didasari oleh teori atau pendekatan behavioral klasikal. Pendekatan behavioral memandang manusia atau kepribadian manusia pada hakikatnya adalah perilaku yang dibentuk berdasarkan hasil pengalaman dari interaksi individu dengan lingkungannya. Perhatian behavioral adalah pada perilaku yang nampak, sehingga terapi tingkah laku mendasarkan diri pada penerapan teknik dan prosedur yang berakar pada teori belajar yakni menerapkan prinsip-prinsip belajar secara sistematis dalam proses perubahan perilaku menuju kearah yang lebih adaptif. Untuk menghilangkan kesalahan dalam belajar dan berperilaku serta untuk mengganti dengan pola-pola perilaku yang lebih dapat disesuaiakan. Salah satu aspek yang paling penting dalam memodifikasi perilaku adalah penekanannya pada tingkah laku yang didefinisikan secara operasional, teramati dan terukur.
Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Corey (2005:254) mengemukakan tentang latar belakang teknik ini melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat pengkondisian, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat pusat pengkondisiannya. Tahun 1920-an Johannes Schulz, psikolog Jerman, mengembangkan teknik “Autogenic Training” yang mengkombinasikan diagnosis, relaksasi dan autosugesti untuk konseli yang mengalami kecemasan. Tahun 1935 Guthrie mengemukakan beberapa teknik untuk menghapus kebiasaan maladaptive termasuk kecemasan; dengan menghadapkan individu yang mengalami phobia pada stimulus yang tidak dapat menimbulkan kecemasan secara gradual ditingkatkan ke stimulus yang lebih kuat menimbulkan ketakutan.
Desensitisasi sistematis dikembangkan dalam tradisi behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe. Asumsi dasar teknik ini adalah respon ketakutan merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respon khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini adalah kecemasan-kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan; dan respon yang sering dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau penenangan.
Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatirannya. Prinsip dasar Desensitisasi adalah memasukkan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi.
Wolpe dalam Corey (2007 :210) mengatakan bahwa penerapan relaksasi lebih ditekankan pada latihan yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun diteruskan pada pengenduran otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh. Dalam Desensitisasi  sistematis, sebelum dimulai latihah relaksasi klien diberikan informasi mengenai cara-cara relaksasi, begaimana cara penggunaan relaksasi dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagian-bagian tubuh tertentu. Dalam relaksasi klien dianjurkan untuk membayangkan situasi-situasi yang membuat santai seperti duduk di pinggir pantai, danau, atau tempat tenang lainnya. Hal yang terpenting adalah klien diarahkan untuk mencapai keadaan tenang dan rileks sehingga merasakan suatu kedamaian. Dalam penelitian ini selain dianjurkan seperti cara di atas, peneliti juga menganjurkan cara-cara yang lain yang dapat digunakan oleh siswa dalam relaksasi untuk meminimalkan tingkat kecemasan.
Suryani (2000:76) mengatakan bahwa ”relaksasi ini merupakan cara untuk melemaskan organ dan otot-otot tubuh dengan posisi terlentang atau duduk untuk menanggulangi ketegangan yang ditimbulkan  dalam kehidupan sehari-hari”. Lebih lanjut relaksasi menurut Suryani dimulai dengan posisi tidur terlentang, kaki lurus, tangan lurus lalu letakkan di samping badan. Untuk memulai relaksasi setiap bagian anggota badan perlu diregangkan dan dilemaskan, kemudian menutup mata, dan mulai mengosongkan pikiran, rasakan ada getaran dari ujung kaki, naik perlahan-lahan ke lutut, paha, perut, dada, bokong, bahu, tangan, leher, muka, dan sampai ke otak sehingga akhirnya getaran itu keluar melalui ubun-ubun turun ke bawah sampai ujung kaki.
Lebih lanjut Suryani mengungkapkan bahwa agar dapat melakukan relaksasi dengan tahap ringan maka, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : (1) duduk dengan posisi yang tegak lurus atau tegap, kedua tangan diletakkan di atas paha. Kemudian mata dipejamkan, setelah itu nafas ditarik dengan kuat secara perlahan, lalu nafas ditahan di dada, kemudian hembuskan secara perlahan. Kegiatan ini dilakukan sampai siswa merasakan kondisi yang nyaman, (2) duduk dengan posisi yang tegak lurus atau tegap, lalu jempol kanan menutup hidung sebelah kanan, hidung seblah kiri menarik nafas dengan kuat secara perlahan, kemudian ditahan, kemudian hidung sebelah kiri ditutup dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah, kemudian buka jempol kanan lalu hembuskan nafas secara perlahan. Latihan ini dilakukan secara bergantian sampai terasa nyaman, (3) duduk dengan posisi yang tegak lurus atau tegap, kedua tangan diletakkan di atas paha. Kemudian gerakkan kepala menoleh ke kiri dan ke kanan sambil mengatur nafas, setelah itu dilanjutkan dengan gerakan mematahkan kepala ke kiri dan ke kanan, kemudian dilanjutkan dengan gerakan memutar kepala. Setiap melakukan gerakan selalu diimbangi dengan nafas, (4) duduk dengan posisi yang tenang dan tegak lurus atau tegap, kedua tangan diletakkan di atas paha, kemudian melakukan gerakan mata melotot, menoleh ke kanan dan ke kiri, memutar mata secara bergantian. Gerakan ini dilakukan seperlunya saja. Tujuannya adalah untuk melatih perhatian menjadi fokus, (5) duduk dengan posisi yang tegak lurus atau tegap, tangan kiri berada di belakang dan tangan kanan dieltakkan di atas paha sebelah kiri, setelah itu posisi tangan ditukar dengan gerakan yang sama sambil mengatur pernafasan secara perlahan, (6) duduk dengan posisi yang tegak lurus, kedua tangan menyentuh bahu, kemudian sambil mengeluarkan nafas kedua tangan direntangkan, kemudian diletakkan kembali ke bahu. Gerakan tersebut dilakukan secukupnya, (7) duduk dengan posisi yang tegak lurus atau tegap, kedua tangan diletakkan di atas paha, atur pernafasan setenang mungkin, pikiran ditenangkan dan bayangkan berada disuatu tempat yang indah dan sejuk. Latihan ini berfungsi untuk menenangkan pikiran (8) duduk dengan posisi santai, kedua tangan digosokkan sampai telapak tangan terasa panas, kemudian letakan tangan dimata sambil diusapkan, dilanjutkan ke pipi, dahi, dan seluruh wajah sampai seluruh tubuh.

3.         Relevansi dan Manfaat Teknik Desensitisasi Sistematis terhadap Kecemasan  Menghadapi Ujian
Berawal dari teori atau pendekatan konseling behavioral, fokus perubahan tingkah laku terdiri dari 3 kategori, antara lain : Memperkuat tingkah laku, dan melemahkan tingkah laku. Dikarenakan teknik desensitisasi sistematis berawal dari pendekatan behavior, maka prinsip perubahan tingkah laku menurut teknik ini termasuk di dalam kategori melemahkan perilaku. Hal ini disebabkan, permasalahan yang bisa diatasi dengan menggunakan teknik desensitisasi sistematis seperti phobia, kecemasan dan lain-lain tidak perlu untuk dihilangkan sepenuhnya dari diri seseorang. Setiap individu perlu tetap memiliki perasaan-perasaan seperti takut, cemas asal dalam batasan yang wajar atau normal. Jika individu tidak memiliki perasaan-perasaan seperti yang disebutkan di atas maka justru individu akan bermasalah.
Desensitisasi sistematis merupakan teknik yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif, biasanya berupa kecemasan dan disertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan (Wolpe dalam Corey, 2007:208). Dengan pengkondisian klasik, respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Adapun manfaat desensitisasi sistematis yaitu: 1).Desensitisasi sistematis sering digunakan untuk mengurangi maladaptasi kecemasan yang dipelajari lewat conditioning (seperti phobia) tapi juga dapat diterapkan pada masalah lain, 2).Dengan teknik desensitisasi sistematis konseli dapat melemahkan atau mengurangi perilaku negatifnya tanpa menghilangkannya, dan 3). Konseli mampu mengaplikasikan teknik ini dalam kehidupan sehari-hari tanpa dipandu oleh konselor.
Teknik ini dipilih karena merupakan perpaduan dari teknik memikirkan sesuatu, menenangkan diri dan membayangkan sesuatu dengan memanfaatkan ketenangan jasmaniah konseli untuk melawan ketegangan jasmaniah konseli yang bila konseli berada dalam situasi yang menakutkan atau menegangkan sehingga sangat tepat untuk mengatasi gangguan kecemasan atau yang berhubungan dengan kelainan pribadi maupun masalah sosial. Adapun yang memperkuat dalam menggunakan teknik desensitisasi sistematis dalam mereduksi kecemasan menghadapi ujian adalah karena teknik tersebut sudah sering digunakan dalam suatu penelitian yang berupaya mereduksi kecemasan yang dialami oleh siswa, baik kecemasan belajar, ujian serta tampil dihadapan umum. Studi penelitian yang dilakukan oleh Hekmat Hamid (2006) mengemukakan bahwa teknik desensitisasi sistematis efektif untuk mengurangi kecemasan berbicara di depan umum. Kecemasan berkurang secara signifikan setelah diberikan perlakuan desensitisasi sistematis. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa setelah diberikan intervensi teknik tersebut, kecemasan siswa berbicara didepan umum dapat direduksi. Egbochukuand (2005) memebuktikan lewat penelitiannya, bahwa Teknik Desensitisasi Sistematis efektif dalam mengurangi kecemasan ujian pada siswa Sekolah Menengah Atas Nigeria, sehingga  dianjurkan terapi ini cocok digunakan dalam mereduksi kecemasan. Adapun dalam penelitiannya tersebut menghasilkan sebuah program penanganan kecemasan ujian pada siswa sekolah menengah pertama dengan menggunakan teknik desensitisasi sistematis. Zettle Robert D (2003) membuktikan dalam penelitiannya terhadap siswa yang mengalami kecemasan sejumlah 24 orang (sampel), bahwa teknik desensitisasi sistematis efektif untuk mereduksi kecemasan siswa dalam menghadapi ujian matematika. Penelitian tersebut menggambarkan, bahwa dengan pemberian 10 kali  intervensi desensitisasi sistematis, kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika dapat direduksi. Teknik yang diberikan saat intervensi, dianjurkan untuk dipraktekkan sendiri di rumah sebagai bahan untuk latihan. Dari hasil penelitian para peneliti tersebut dapat dikatakan bahwa teknik desensitisasi sistematis efektif untuk mereduksi kecemasan.
Goldfried (1971) mengungkapkan bahwa, selain menjadi suatu teknik yang efektif untuk mengurangi kecemasan dalam psikoterapi, desensitisasi sistematis telah menjadi populer dalam kajian psikologi. Teknik tersebut sering digunakan dalam kajian psikologi umum, penyesuaian pribadi, manajemen stres, reduksi kecemasan ujian, membantu hubungan pelatihan, psikologi abnormal, dan bahkan masalah kepribadian. Desensitisasi Sistematis digunakan lebih luas terhadap masalah kecemasan  siswa melalui pelatihan relaksasi dan latihan imaginal. Teknik desensitisasi sistematis ini dipercaya dapat merdeuksi kecemasan berdasarkan pembuktian para peneliti yang sudah menggunakannya. Pertama, seringkali diasumsikan bahwa desensitisasi sistematis, dapat menurunkan tingkat kecemasan pada siswa dengan mengajarkan bahwa kecemasan mereka dapat terkendali. Kedua, sering diasumsikan bahwa siswa akan mengalami penurunan kecemasan ujian. Ketiga, penerapan teknik tersebut akan berpengaruh positif terhadap hasil ujian. Selanjutnya perlu dilakukan evaluasi yang baik terhadap penggunaan teknik yang popular tersebut dalam mereduksi kecemasan.
Teknik desensitisasi sistematis dalam pelaksanaan menggunakan bantuan teknik lain di antaranya adalah teknik relaksasi dan modeling. Stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai. Pemasangan secara berulang-ulang sehingga stimulus yang semula menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur-angsur. Sedangkan menurut teknik modeling konselor diharapkan berperan sebagai model atau counter propagandis. Desensitisasi umumnya digunakan pada klien yang mengalami gangguan kecemasan, akan tetapi sebenarnya dapat juga digunakan untuk mengurangi kemarahan, mengatasi situasi sedih, dan berbagai rasa takut serta masalah-masalah social (Sugiharto,2007).
4.    Prosedur Teknik Desensitisasi  Sistematis sebagai Upaya Mereduksi Kecemasan Menghadapi Ujian
Teknik ini digunakan bila seseorang sangat cemas terhadap suatu stimulus tertentu. Kita semua merasa sangat cemas terhadap satu atau lebih stimulus. Stimulus itu mungkin berupa menempuh ujian ular,tikus, rayuan asmara, berada sendirian, tempat-tempat yang tinggi (ketiggian), berjalan sendirian, suntikan, obat-obatan, berada di dalam tempat-tempat yang kecil atau tempat-tempat yang ramai, pintu-pintu yang terkunci, tangga yang curam, dan sebagainya (Wolpe,2005).
Desensitisasi sistematis dikembangkan oleh Josep Wolpe (2005). Pendekatan ini bertumpu pada fakta bahwa seseorang tidak dapat secara serempak merasa cemas atau rileks. Wolpe menggunakan “relaksasi” sebagai cara mengimbangi stimulus yang ditakuti. Desensitisasi Sistematis terdiri dari tiga tahap, yiatu: 1) melatih relaksasi otot, 2) menyusun hirearki kecemasan (urutan kecemasan), dan 3) menghayalkan stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan yang diimbangi dengan relaksasi. Tujuan dari tahap ini adalah  menggantikan kecemasan terhadap setiap stimulus dengan relaksasi. Ini dilakukan dengan menyuruh klien membayangkan (menghayalkan) setiap stimulus yang menimbulkan kecemasan sementara klien berada dalam keberadaan relaks. Jerry (1988:1) mengemukakan bahwa “Relaxation therapy combined the cognitive therapy intervention of Hazaleus and DefFenbacher (1986) with an adaptation of anxiety management training (Deffenbacher et al., 1986; Hazaleus & Deffenbacher, 1986)”. Terapi relaksasi menggabungkan intervensi terapi kognitif dari Hazaleus dan DefFenbacher (1986) dengan latihan adaptasi manajemen kecemasan (Deffenbacher et al. 1986; Hazaleus Deffenbacher, 1986).
Keuntungan dari desensitisasi sistematis melalui imajinasi adalah munculnya stimulus-stimulus yang ditakuti dapat diatur. Dengan menghadapi stimulus-stimulus yang ditakuti dengan hierarki secara bertahap lewat imajinasi, seseorang tidak mungkin didorong terlalu jauh oleh suatu peristiwa yang tidak bisa dikontrol. Sebagai teknik klinis, desensitisasi sistematis dinilai dengan efektif dalam mereduksi kecemasan, ketakutan, dan fobia yang melekat pada kondisi-kondisi tertentu (Paul, 1969 dalam Jeffrey K. Zeig, 1979:539).
Dalam pengimplementasian suatu teknik diperlukanlah suatu prosedur atau acuan pelaksanaan sebagai landasan dalam melakukan suatu kegiatan.Teknik Desensitisasi  Sistematis diupayakan melalui relaksasi untuk konseli yang mengalami kecemasan yang tinggi dalam menghadapi ujian. Dalam teknik desensitisasi sistematis ini melibatkan teknik-teknik relaksasi (Wolpe dalam Gerald Corey, 2007:208).
Dalam penelitian ini upaya penanganan kecemasan ujian pada siswa dilakukan dengan menerapkan Teknik Desensitisasi Sistematis  yang merupakan salah satu teknik dalam Model Konseling Behavioral yang berfokus untuk mengkondisikan klien menjadi rileks saat menghadapi ujian. Menurut Wolpe (dalam Corey,2007:209) menguraikan secara terperinci mengenai prosedur pelaksanaan teknik Desensitisasi  Sistematis yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Desensitisasi sistematis dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus yang dapat membangkitkan kecemasan ujian. Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan konseli dalam area tertentu.
b.      Konselor dan konseli mendaftar hasil-hasil apa saja yang menyebabkan konseli diserang perasaan cemas dan kemudian menyusunnya secara hirarkis. Konselor menyusun suatu daftar yang bertingkat mengenai situasi-situasi yang kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau penghindaran. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah hingga situasi yang paling buruk yang dapat dibayangkan oleh konseli.
c.       Konselor melatih konseli untuk mencapai keadaan rileks atau santai. Latihan ini dilakukan melalui suatu prosedur khusus yang disebut relaksasi yang berupaya mengkondisikan konseli dalam keadaan santai penuh. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama konseli diberi latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengendoran otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh. Sebelum latihan relaksasi dimulai, konseli diberitahu tentang cara relaksasi dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagian-bagian tubuh tertentu.
d.      Konselor melatih konseli untuk membentuk respon-respon antagonistik yang dapat menghambat perasaan cemas. Latihan relaksasi berdasarkan teknik yang digariskan oleh Jacobson dan diuraikan secara rinci oleh Wolpe. Pemikiran dan pembayangan (imagery) situasi-situasi yang membuat santai seperti duduk di pinggir danau atau berjalan-jalan di taman yang indah sering digunakan. Hal yang penting adalah bahwa konseli mencapai keadaan tenang dan damai. Konseli diajari bagaimana mengendurkan segenap otot dan bagian tubuh dengan titik berat pada otot-otot wajah. Otot-otot tangan terlebih dahulu, diikuti oleh kepala, leher dan pundak, punggung, perut, dada dan kemudian anggta-anggota badan bagian bawah. Konseli diminta untuk mempraktekkan relaksasi di luar pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari. Apabila konseli telah dapat belajar untuk santai dengan cepat, maka prosedur desensitisasi dapat dimulai.
e.       Pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis. Proses desensitisasi melibatkan keadaan di mana konseli sepenuhnya santai dengan mata tertutup. Pada tahap ini konselor mula-mula mengarahkan konseli agar mencapai keadaan rileks. Setelah konseli dapat mencapai keadaan rileks, konselor memverbalisasikan (menyajikan) secara berurutan dari atas ke bawah situasi-situasi yang menimbulkan perasaan cemas sebagaimana tersusun dalam hirearki dan meminta konseli untuk membayangkannya. Konselor menceritakan serangkaian situasi dan meminta konseli untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi yang diceritakan oleh konselor tersebut. Situasi yang netral diungkapkan, dan konseli diminta untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi  didalamnya. Jika konseli mampu tetap santai, maka dia diminta untuk membayangkan situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah. Konselor bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara bertingkat sampai konseli menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi dimulai lagi, dan konseli kembali membayangkan dirinya berada dalam situasi-situasi yang diungkapkan konselor. Treatmen diangggap selesai apabila konseli mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan. Jika konseli dapat membayangkan situasi tersebut tanpa mengalami kecemasan, konselor menyajikan situasi berikutnya dan ini terus dilakukan dengan cara yang sama sehingga seluruh situasi dalam hirarki telah disajikan dan kecemasan bias dihilangkan. Jika dengan sikap santai tidak cukup, maka konselor dapat mengulangi dengan cara meminta membayangkan situasi lain yang menyenangkan ketika ia menyajikan situasi yang menimbulkan perasaan cemas (Wolpe,1982)

REFERENSI 

     Corey, Gerald. (2007). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
    Corey, Gerald. (2005). Theory and Practice of Counseling & Psychotherapy. 7th ed. Belmont :   Thomson Brooks/Cole.


2 comments:

Pages